SENI dalam segala
perwujudannya merupakan (salah satu) ekspresi proses kebudayaan manusia,
sekaligus pencerminan dari peradaban suatu masyarakat atau bangsa pada
suatu kurun waktu tertentu. Di lain pihak, kebudayaan tidak hanya
berciri fungsional untuk melangsungkan hidup, tapi sekaligus juga proses
pemerdekaan diri: membuat orang jadi lebih manusiawi.
Oleh
karena itu, memperluas wawasan tentang (ke)seni(an) merupakan sesuatu
hal yang sangat penting. Selain untuk mendekatkan diri dengan
masalah-masalah seputar seni, juga untuk menghilangkan pandangan dan
pretensi negatif yang menganggap seni dan seniman sebagai sesuatu yang
kurang manfaat, urakan, kumuh, rombeng, pengangguran, dan hidup
seenaknya. Karena seni, bagaimanapun, merupakan bagian langsung dari
kehidupan manusia yang sama penting dengan aspek-aspek kehidupan
lainnya. Sesuatu yang positif dan bermanfaat, bukannya sesuatu yang
negatif dan merugikan.
REALITAS SENI
Memberi batasan tentang pengertian seni secara baku dan pasti memang
merupakan hal yang sangat sulit, seperti halnya kita mencoba memberi
pengertian tentang cinta. Ini karena seni, sebagai bagian dari
kebudayaan manusia, berjalin berkelindan dengan seluruh segi kehidupan
manusia yang sangat luas, rumit, dan kompleks. Seni sangat berbeda
dengan ilmu pengetahuan yang bekerja secara pasti untuk mendapatkan
hasil yang obyektif dan dapat diukur. Karena seni tidak hanya berupa
hasil akal fikiran, tetapi menyentuh dan melibatkan perasaan (hati) yang
subyektif.
Hans
Küng dalam bukunya Art and the Question of Meaning (1981) mengungkapkan
kesulitan yang harus dihadapinya, yaitu bahwa tidak ada lagi definisi
mengenai seni yang diakui secara umum kecuali definisi mengenai agama
dan filsafat. Menurut Küng, pada abad XX (tentu saja hingga abad XXI ini
-pen) secara khusus ditandai oleh bermacam-macam percobaan
terus-menerus untuk menemukan definisi baru mengenai seni dan
meninggalkan ide-ide sebelumnya. Karena itulah, Küng menyarankan
pembicaraan mengenai seni tidak dimulai dengan definisi tentang seni
melainkan dengan realitas seni, dengan pengetahuan bahwa seni itu ada,
apa pun bentuk dan batasannya.
Pendapat
lebih ekstrim dikemukakan oleh Joseph Beuys (bukan Yoseph Iskandar
ketua Dewan Kesenian Banten. Heheh! Halo, apa kabar?), seorang profesor
di Dusseldorf Art Academy Jerman- sebagaimana dikutip dalam newsletter
Bandung Art Forum edisi Nomor 2, Juni-Juli 2001- bahwa setiap orang
adalah seniman. Joseph Beuys pun kemudian mencairkan praktek seni dengan
praktek hidup sehari-hari. Sehingga seringkali aktifitas keseniannya
sukar dijelaskan sebagai sebuah karya seni. Tetapi Joseph Beuys tidak
perduli, bahkan ia terus menganjurkan sebuah konsep kesenian yang
universal, yang memiliki dimensi luas antar disiplin keilmuan.
“Setiap
orang adalah seniman, saya maksudkan bahwa siapa pun bisa memutuskan
kepuasan hidupnya dalam bidang khusus, apakah dalam lukisan, musik,
mesin-mesin, mengobati orang sakit, ekonomi, atau apa pun itu!” seru
Beuys. Hal tersebut karena menurut Beuys lembaga budaya menghadapi
dilema dalam mengatasi kenyataan bahwa kebudayaan merupakan sebuah
lapangan yang terkucil, dan kesenian lebih terkucil lagi. Yakni sebuah
tempat yang sangat terasing dari sebuah lapangan kebudayaan yang
dikepung oleh kompleksitas budaya dan pendidikan, juga oleh media yang
justru merupakan bagian dari kebudayaan tersebut.
Sikap
serupa itu barangkali lahir dari tanggapan sang seniman terhadap
predikat seniman yang tidak istimewa lagi di tengah-tengah perkembangan
dan perubahan struktur masyarakatnya. Tidak seperti pada jaman raja-raja
di masa lampau di mana terdapat tradisi menghimpun seniman di istana.
Saat itu seniman dipandang sebagai kelompok orang budiman yang mulia di
sisi raja, sehingga memperoleh berbagai gelar yang disandangkan
kepadanya. Seorang penyair misalnya, diberikan gelar kawiwara (penyair
terkemuka), kawindra/kawiraja (raja penyair), atau kawi wiku (penyair
religius), dan sebagainya. Sementara sekarang ini, predikat seniman
hanyalah salah satu aspek saja dalam kehidupan individual di
tengah-tengah masyarakatnya. Sehingga tujuan proses penciptaannya tidak
selamanya selaras dengan sikap masyarakat umumnya, apalagi dengan
“raja-raja masa kini” alias pemerintah.
PROSES KREATIF
Proses penciptaan disebut juga proses kreatif, yaitu rangkaian
kegiatan seorang seniman dalam menciptakan dan melahirkan karya-karya
seninya sebagai ungkapan gagasan dan keinginannya. Proses penciptaan ini
tidak terjadi dan diturunkan dari ruang kosong. Tapi pada hakikatnya
hanyalah usaha memodifikasi (mengubah/menyesuaikan) sesuatu yang telah
ada sebelumnya. Misalnya, seorang pelukis membuat sebuah lukisan karena
sebelumnya telah ada pelukis lain dan karya lukisan lainnya. Di situlah
seniman berupaya dengan keras menampilkan sesuatu yang lain dari apa
yang sudah ada, sehingga melahirkan suatu realitas baru yang kemudian
diakui sebagai hasil ciptaannya.
Kemampuan
“mencipta” (sesungguhnya hanya milik Tuhan!) inilah yang menjadikan
manusia sebagai mahluk yang berkebudayaan. Yaitu yang memiliki kesadaran
untuk mengembangkan kebiasaan hidup, saling berhubungan satu sama lain,
dan mampu menyimpan pengalaman atau pengetahuannya sehingga dapat
diketahui dan dialami oleh generasi-generasi berikutnya. Termasuk juga
pengalaman estetiknya yang dijelmakan dalam (ke)seni(an).
Kemampuan
kreatif atau mencipta tersebut sesungguhnya bukanlah sesuatu yang
istimewa. Karena pada dasarnya setiap manusia memiliki tiga kemampuan
utama, yaitu kemampuan fisik, kemampuan rasio atau akal, dan kemampuan
kreatif. Hanya perimbangannnya saja yang berbeda-beda antara orang per
orang.
Tiga
kemampuan utama tersebut membentuk kemampuan-kemampuan lainnya yaitu
kemampuan gerak, perasaan, dan imajinasi, di mana satu sama lain saling
menjelmakan suatu kebulatan yang utuh. Integrasi atau penyatuan yang
serasi dari seluruh kemampuan tersebut berpuncak atau menghasilkan apa
yang dinamakan intuisi (penghayatan sedalam-dalamnya). Jika salah satu
kemampuan diabaikan tentu saja akan menurunkan mutu intuisi seseorang.
Padahal intuisi juga sekaligus menjadi dasar bagi pembangkitan energi
kreatif yang menghindarkan manusia terjerembab menjadi robot atau zombie
(mayat hidup).
Perkara
intuisi inilah yang kerapkali begitu besar dimiliki seorang seniman.
Seorang seniman karena kepekaan intuitifnya seringkali berhadapan dengan
pertanyaan-pertanyaan mengenai arti hidup dan realitas kehidupan secara
keseluruhan dengan antitesis yang radikal. Sehingga sebagai mahluk
historis, seniman senantiasa terus-menerus memulai dan memulai lagi
penciptaan. Ia tidak akan memuja-muja masa lampau, tradisi tidak akan
menjadi Allah-nya. Ia juga tidak akan memuja-muja masa depan,
futurisisme tidak akan menjadi Allah-nya. Bahkan ia pun tidak akan
memuja-muja masa sekarang, kejadian masa kini tidak akan menjadi
Allah-nya.
Dengan
kata lain, seniman senantiasa melakukan pembaharuan terus-menerus, tak
kunjung henti. Bahkan di tengah-tengah hidup dan kehidupan yang
ditelikung nihilisme atau ketanpaartian yang melemparkan manusia ke
dalam jurang-jurang pengasingan dan kesia-siaan. Seniman adalah Sisyphus
yang terus mendorong batu ke atas bukit walau tahu sesampainya di
puncak bakal jatuh terguling. Atau dalam kata-kata Theodor W. Adorno
sebagaimana dikutip Herman Tjahja dalam majalah kebudayaan Basis edisi
September 1986, “Dalam masa ketanpaartian, karya seni dapat melambangkan
‘ketanpaartian’ dengan sangat tepat secara estetis. Maka, karya seni
merupakan ekspresi penuh arti dalam dirinya sendiri tentang
ketanpaartian yang ada secara nyata.”
SIKAP KRITIS
Jelaslah kini, seniman bicara dengan (ke)seni(an)nya. Ia senantiasa
tergoda untuk berkarya dan berkarya. Bukannya tergoda oleh tepuk-tangan
massa atau oleh daya tarik kekuasaan. Ia bergulat mengolah dan
bermain-main dengan gagasan. Bahkan tidak pernah merasa puas dan terus
mempersoalkan karyanya sendiri. Ia juga berlaku kritis terhadap dirinya
sendiri, sehingga tidak menganggap penting dirinya karena yang ia
pertaruhkan adalah karyanya. Musuh besarnya bukanlah orang lain, tapi
sikap mediocrity (kecukupanan) dan sikap utilitarian (kegunaan) yang
mengepung dirinya maupun masyarakatnya.
Sikap
kritis terhadap dirinya sendiri dan karya (ke)seni(an)nya itulah yang
akan mampu terus menyalakan energi kreatifnya dalam proses penciptaan.
Sehingga karya-karyanya menjelma menjadi “peristiwa” yang menimbulkan
kelepak riak sekecil apa pun, yang menggugat ketenangan hidup yang mapan
semu, yang mengganggu dan menggugah tidurnya kesadaran orang untuk
berpikir secara baru dan lain.
Dengan
imajinasi seniman, kekuatannya yang kreatif, keberanian dan
integritasnya, melalui kode, tanda dan simbol, warna dan bentuk dalam
karya-karyanya, akan memberikan arti baru kepada hidup dan oleh karena
itu lebih menghasilkan energi hidup, lebih menguntungkan bagi hidup, dan
lebih menggembirakan dalam hidup yang manusiawi dengan mengangkat
hasrat manusia akan keadilan, kemerdekaan, kebebasan, kebenaran, dan
kebahagiaan. Dalam bahasa iklannya: bikin hidup lebih hidup!
sumber : http://setyahermawan.blogspot.co.id/2010/10/prose-kreatif-seni.html
sumber : http://setyahermawan.blogspot.co.id/2010/10/prose-kreatif-seni.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar